MAKASSAR — Pemerintah Kota Makassar di bawah kepemimpinan Wali Kota Munafri Arifuddin dan Wakil Wali Kota Aliyah Mustika Ilham, mengambil langkah tegas dengan melakukan penataan terhadap sekitar 3.000 petugas kebersihan honorer yang selama ini tidak terdaftar dalam sistem administrasi resmi.
Kebijakan ini merupakan bagian dari instruksi pemerintah pusat untuk menata ulang tenaga non-ASN, dengan tujuan meningkatkan efisiensi anggaran, memperjelas legalitas birokrasi, serta mewujudkan struktur kepegawaian yang lebih profesional dan akuntabel.
Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Tasrifin Tahara, M.Si, menilai keputusan Pemkot Makassar ini sebagai langkah rasional dan penting dalam konteks reformasi birokrasi.
Menurutnya, banyak tenaga honorer yang selama ini bekerja tanpa kejelasan status administrasi, namun tetap membebani anggaran daerah.
“Keberadaan mereka seperti bayang-bayang birokrasi—tidak tercatat secara resmi, tetapi menyerap anggaran publik tanpa kepastian fungsi dan tanggung jawab,” jelas Prof. Tasrifin.
Ia menambahkan, tanpa pembenahan, kondisi ini bisa melemahkan akuntabilitas publik dan menciptakan ketimpangan antara beban fiskal dan legitimasi birokrasi. Oleh karena itu, kebijakan ini dinilai sebagai langkah efisien yang berbasis prinsip value for money, di mana pembiayaan publik disesuaikan dengan manfaat yang jelas dan terukur.
Meski demikian, Prof. Tasrifin mengingatkan pentingnya menjaga kepekaan sosial dalam proses ini. “Mereka bukan sekadar angka dalam statistik. Ada kehidupan dan harapan yang bergantung pada pekerjaan tersebut,” tegasnya.
Untuk itu, ia mendorong Pemkot Makassar agar menyiapkan strategi transisi yang manusiawi, seperti pelatihan keterampilan baru, program penempatan kerja alternatif, atau skema outsourcing yang tetap melindungi hak-hak pekerja.
Prof. Tasrifin juga melihat momen ini sebagai peluang memperbaiki sistem rekrutmen honorer yang selama ini rentan politisasi.
Ia menekankan pentingnya digitalisasi data kepegawaian, audit personel, serta penguatan regulasi agar masalah serupa tidak terulang.
“Keputusan ini memang mengandung risiko politik dan sosial. Tapi keberanian mengambil langkah tidak populer demi masa depan birokrasi yang lebih baik adalah bentuk tanggung jawab moral dan visi jangka panjang,” ujarnya.
Sebagai informasi, sekitar 3.000 tenaga honorer yang sebelumnya tidak tercatat dalam database resmi, kini disiapkan untuk dialihkan ke skema Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) sebagai solusi alternatif yang legal dan berkeadilan.
Prof. Tasrifin menegaskan, bila dijalankan dengan inklusif dan bertanggung jawab, kebijakan ini bisa menjadi tonggak penting menuju birokrasi daerah yang sehat, efisien, dan berpihak pada kepentingan publik.
Penulis: Ardhi