JAKARTA – Gus Miftah, ulama kondang yang dikenal dengan gaya ceramahnya yang santai, kembali menjadi perbincangan hangat publik.
Kali ini, ia menuai kontroversi usai sebuah video dirinya bercanda dengan penjual es teh bakul di acara ceramah viral di media sosial.
Dalam video tersebut, Gus Miftah yang tengah memberikan ceramah di sebuah pondok pesantren di Magelang, Jawa Tengah, tampak memanggil seorang penjual es teh di antara para jamaah.
Dengan gaya khasnya, ia bertanya, “Es teh kamu masih banyak nggak? Masih? Yaudah dijual lah *****,” diakhiri dengan kata yang dianggap oleh banyak orang sebagai umpatan.
Suara tawa sempat terdengar dari para jamaah, namun kamera menangkap ekspresi kaku dari sang penjual es teh.
Menanggapi viralnya video tersebut, Gus Miftah langsung memberikan klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf.
Dalam pernyataannya, ulama yang juga menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama ini mengakui kesalahannya dan berniat menemui langsung sang penjual untuk meminta maaf.
“Dengan kerendahan hati, saya meminta maaf atas kekhilafan saya. Saya sering bercanda dengan siapapun, namun kali ini saya sadar bahwa candaan saya kurang tepat,” ujar Gus Miftah dalam video permintaan maafnya.
Ia juga berjanji menjadikan insiden ini sebagai introspeksi untuk lebih berhati-hati berbicara di depan publik.
Tidak hanya menyampaikan permintaan maaf kepada publik, Gus Miftah juga mengungkapkan bahwa ia telah mendapatkan teguran dari Sekretaris Kabinet Mayor Teddy Indra Wijaya. Teguran itu diakuinya menjadi pengingat agar lebih bijak saat berbicara.
Reaksi netizen pun beragam. Beberapa memuji langkah cepat Gus Miftah yang segera meminta maaf, namun tak sedikit pula yang menyayangkan gaya bercandanya yang dinilai kurang pantas untuk figur publik.
Ulama asal Lampung ini dikenal sebagai tokoh dengan pendekatan dakwah yang merangkul berbagai kalangan.
Dengan rambut gondrong yang ikonik, Gus Miftah sering terlihat berbicara dalam suasana santai namun penuh pesan moral.
Insiden ini menjadi pengingat bahwa figur publik perlu lebih berhati-hati dalam menyampaikan candaan, terutama di era digital di mana setiap kata bisa dengan mudah tersebar luas dan menuai interpretasi berbeda.**